Rabu, 21 November 2012

‎= Cinta Dalam Sebatang Pena =



“Aku pergi”, ucapku dingin.

Kulihat ayah masih asik mengutak-atik benda entah apa di meja. Sedangkan ibu sibuk mengiris-iris bawang. Biasanya aku selalu mencium tangan kedua orang tuaku sebelum berangkat. Tapi saat ini aku benar-benar kesal dan kecewa pada ayah.

Sudah tiga hari ini aku tidak mendapat uang saku ke sekolah. Minggu itu adikku yang paling kecil dibawa ke rumah sakit karena demamnya cukup tinggi. Dan itu cukup menghabiskan persediaan uang kami, ayah baru akan gajian minggu depan. Bagiku itu tidak terlalu jadi masalah karena sudah terbiasa. Tapi sialnya, pena satu-satunya yang kumilki juga rusak. Tintanya masih banyak, tapi tidak mau keluar ketika dipakai menulis. Dua hari kemarin aku meminjam pena temanku. Dan kemarin, sepertinya ia sudah agak keberatan meminjamkan penanya.

“Kenapa tidak kau beli saja yang baru. Harga pena paling Cuma seribu”, mungkin baginya biasa mengatakan hal itu. Tapi bagiku yang bahkan uang saku saja tidak punya, hal itu sangat menyinggungku.

Jadi tadi malam, aku mengatakan kesulitanku pada ayah.

“Loh, koq penanya sudah rusak. Kan baru dibeli kemarin. Iya kan bu?”

“Ya, kamu pakainya tidak hati-hati kali”, mereka malah menyalahkan aku. Bukannya mendukung.

“Tapi beneran gak mau yah,, coba saja lihat sendiri. Pena ini memang cepat rusak, jadi murah. Makanya kemarin aku minta dibelikan pena pilot saja sama ibu”, aku setengah menangis menyodorkan pena itu pada ayah.

“Lah, kamu kan tahu sendiri uangnya kemarin gak cukup. Kamu masih harus beli buku isi seratus itu kan?”, ibu masih menyuapi adik ketika mengucapkan hal itu.

“Ya sudah, nanti ayah belikan kalau gajian. Besok kamu pinjam pena temanmu dulu”

“Rovan malu yah, lagipula Andika juga sudah keberatan meminjamkannya. Kenapa tidak pinjam uang dulu sama Om Anang. Dia juga sering kan, pinjam duit ayah”, kali ini aku tak dapat menahan tangisku lagi.

“Tidak ada hutang! Ayah tidak pernah mengajarkan hutang padamu kan?”, ayah malah marah ketika aku menawarkan solusi.

Malam itu aku ngambek, tidak makan. Juga pagi-pagin sebelum berangkat sekolah tetap bungkam.

Di sekolah, aku menulis memakai pensil warna. Karena pensilku sedang tumpul. Dan aku sedang tidak mau meminjam apapun dari teman-temanku. Juga saat ada yang menawarkan pena padaku, aku diam saja.

“Van, ayahmu datang. Dia menunggu di gerbang”, seorang temanku yang baru saja keluar menyapa ketika aku mencatat bahan dari guru.

Walaupun masih ngambek, tapi aku penasaran juga. Siapa tahu ayah berubah pikiran dan mau meminjam uang. Jadi aku bisa punya uang jajan dan pena baru. Tapi ternyata ayahku tetap memegang prinsipnya.

“ini tadi sudah ayah perbaiki, sudah mau keluar tintanya. Kamu pakai ini dulu, nanti ayah belikan yang baru”, tangan ayah masih berlumur noda-noda tinta.

Aku masih diam, jadi tadi pagi yang dikerjakan ayah adalah mencoba memperbaiki penaku.

“Ayo ambil, ayah tadi hanya izin sebentar pada pak Seng”, aku mengambil pena itu dan berlari. Tidak mengucapkan apa-apa. Menahan tangisku. Aku benci pada kemiskinan yang melanda kami, tapi aku cinta pada prinsip dan perhatian ayah padaku. Hari itu, aku yang masih kelas lima SD berjanji pada diri sendiri untuk belajar bersungguh-sungguh.

Malamnya kami bercengkerama seperti biasa, sseolah-olah insiden ngambek itu tak pernah terjadi. Inilah yang aku miliki, keluarga yang menyayangiku. Aku sempat mengolok-olok adikku sebentar sebelum membut PR.

Seminggu kemudian, ayah gajian. Kami sekeluarga berbelanja kebutuhan bulanan di Pasaraya. Tentu juga membeli kebutuhan sekolahku, hari itu aku dibelikan tiga batang pena pilot bartu yang sudah lama kuinginkan. Adikku juga dibelikan tas dan alat tulis. Karena seharusnya ia sudah sekolah di Taman Kanak-kanak, tapi karena biaya TK mahal, dia terpaksa diajari membaca sendiri dirumah oleh ayah ibuku. Kedua orang tuaku tidak ada yang lulus SD, tapi beliau masih bisa mengajarkan membaca dan menulis pada kami. Dulu aku juga tidak masuk TK, aku belajar membaca di rumah sebelum masuk SD.

***
Ternyata sebatang pena saja sudah cukup bagiku untuk mengetahui kasih orang tuaku. Mungkin tidak ada harganya bagi mereka yang beruntung, tapi ayahku berjuang membetulkannya dan tetap teguh untuk tidak berhutang. Meski untuk sebatang pena. Tidak seperti ibu, ayah memang tidak pernah secara langsung mengatakan mencintai kami. Begitupun kami, tidak pernah mengungkapkan cinta secara verbal. Karena cinta memang tak perlu dibahasakan, itu bahasa laki-laki.

Meski tintanya sudah tidak ada, aku terus menyimpan pena itu. Ketika melihatnya mataku selalu berair mengingat perjuangan ayah. Sayang, ketika SMA pena itu hilang. Dan itu jauh membuatku lebih sedih ketimbang saat gagal meraih rangking satu di kelas.

Kamis, 15 November 2012

Buat kamu.. :*




Dia hanya dia di duniaku
Dia hanya dia di mataku
Dunia terasa telah menghilang
Tanpa ada dia di hidupku

Sungguh sebuah tanya yang terindah
Bagaimana dia merengkuh sadarku
Tak perlu ku bermimpi yang indah
Karena ada dia di hidupku

Ku ingin dia yang sempurna
Untuk diriku yang biasa
Ku ingin hatinya, ku ingin cintanya
Ku ingin semua yang ada pada dirinya

Ku hanya manusia biasa
Tuhan bantu ku tuk berubah
Tuk miliki dia, tuk bahagiakannya
Tuk menjadi seorang yang sempurna untuk dia

Rabu, 14 November 2012

“Hidup itu sebenarnya masalah..”


Kata dosen pkn, hidup itu sebenarnya masalah, karena tidak mungkin manusia yang hidup di muka bumi ini tidak memiliki masalah, dan kita pun tidak bisa menghindari masalah tersebut.

Sesuatu hal atau bahkan pelajaran  yang dapat aku simpulkan  dari perkataan  tadi yaitu bahwasannya masalah itu merupakan hal dimana kita belajar dan memahami arti hidup kita sendiri saat ini. 
Karena dengan adanya masalah, kita berusaha belajar bagaimana caranya kia menyikapi, menjalankan, dan menyelesaikan masalah itu,  dengan adanya masalah juga, kita dapat memahami arti-arti kehidupan, bahwa sesungguhnya hidup ini indah apabila kita menjalaninya dengan ikhlas dan kesenangan hati, dan sesungguhnya Allah itu  memberikan suatu masalah kepada umatnya itu pertanda sayang kepada kita, dengan menguji kesabaran kita, keimanan kita, dan kecintaan kita terhadap-Nya.

Aku pun baru menyadari satu hal, apabila kita sedang diberikan suatu masalah oleh yang diatas, perlu kita syukuri, jangan selalu mengeluh, dan hadapi masalah itu dengan lapang dada dan senang hati, karena itu merupakan satu hal yang dapat meringankan masalah yang kita hadapi, dengan begitu masalah tersebut akan cepat terselesaikan.

Apabila dikaitkan dengan ilmu kedokteran maka faktor utama yang menyebabkan seseorang sering terkena gangguan mental ataupun kesehatannya itu dikarenakan stress, dan stress itu diakibtkan oleh banyaknya masalah yang tidak terselesaikan, atau bahkan akibat masalah yang berlarut-larut tak terselesaikan…
Oleh karena itu hadapilah masalaha itu dengan ikhlas dan hati yang tenang, tetapi  jangan diamkan masalah itu, apalagi sampai berlarut-larut, berusahalah  untuk mencari jalan keluar dari masalah yang kita hadapi dengan pikiran yang tenang. Jangan lupa juga untuk terus berdoa, dan jangan jadikan masalah itu sebagai alasan ntuk kita menyalahkan apalagi membeci Allah S.W.T.


KEEP SMILE..... !



Jumat, 09 November 2012

Hancur..


Seperti gelas yang jatuh ke lantai yang hancur berkeping-keping.. itulah perasaan ku saat ini..
Ketika kita berharap orang yang kita sukai lah yang dapat menemani kita tetapi dia malah merelakan kita untuk bersama orang lain...

Apa begitu tidak berarti kah kita dalam kehidupan nya..
Apa begitu mudah dia melepaskan diri kita untuk orang lain..
Dan mengapa juga dia tidak menyediakan sedikit waktu saja untuk kita...

Dan ternyata benar ya... bahwa terkadang orang yang kita sayang terkadang malah mengecewakan kita .. dan malah srbaliknya orang yang tidak kita harapkab bahkan orang yang kita benci justru mempunyai perhatian yang besar terhadap kita .. walaupun dengan cara selalu membuat kita kesal.. tp justru disitulah rasa perhatian mereka disimpan...